Minggu, 23 Januari 2011

Guru SD??? Nggak banget deh...


Kira-kira kata-kata seperti itulah yang pertama kali muncul dalam benak saya ketika mendapat tawaran untuk melamar pekerjaan sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar negeri di wilayah Bantul. Hanya karena ada unsur paksaan dari orang tua, akhirnya saya lakukan juga sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hati itu, yaitu menjadi seorang guru. Ya, menjadi seorang guru memang bukan cita-cita saya, walaupun saya kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, tapi karena jurusan yang saya ambil adalah bahasa Inggris, jadi menurut saya menjadi seorang guru bukanlah harga mati. Tidak harus menjadi guru, tapi banyak alternatif lainnya, yaitu menjadi translator (penerjemah), tour guide (pemandu wisata), bekerja di perusahaan ekspor-impor, atau kalau memungkinkan bisa juga menjadi gurunya mahasiswa (baca: dosen). Untuk alternatif yang terakhir inilah yang I really wanna be...karena idealisme dan cita-cita saya masih terlalu tinggi waktu itu, terlalu tinggi untuk ukuran kemampuan saya yang memang hanya pas-pasan :(. Tapi, beruntung saya punya cita-cita tinggi itu dan Alloh menempatkan saya di tingkat sekolah dasar, mungkin kalau cita-cita saya sebagai guru SMA, Alloh akan menempatkan saya di tingkat taman kanak-kanak, dan kalau saya punya cita-cita sebagai guru SMP, mungkin Alloh akan menempatkan saya di tingkat pendidikan anak usia dini! (pemikiran yang bersifat ‘menghibur diri’ hehe..). Tapi berawal dari sebagai guru SD inilah saya rasakan dunia kerja yang sesungguhnya dan saya temukan banyak pelajaran hidup di dalamnya.
Pertama kali terjun ke sekolah yang muridnya semua adalah anak-anak itu, saya dikejutkan dengan banyak hal yang tidak pernah saya pelajari di bangku kuliah maupun praktek mengajar saya yang notabene adalah di sekolah menengah kejuruan. Berawal dari lingkungan kantor. Dalam lingkup guru-guru yang mengajar di SD itu, saya adalah yang paling muda dan di antara teman yang lain, yang paling muda yaitu berusia seusia bapak saya, maka sering sekali saya berada dalam posisi sulit. Tidak bisa selalu masuk ke dalam topik pembicaraan yang mereka bicarakan karena memang selisih usia yang terlalu jauh. Jangan dibayangkan kalau ruang kantor guru tempat saya bekerja itu seperti ruang guru di SMP ataupun ruang guru SD yang kelasnya sudah paralel. Ruang guru yang memaksa saya untuk tidak hedonis dan harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan guru-guru yang lain. Selalu mengalahkan ego sebagai yang lebih muda, memposisikan diri untuk selalu siap dinasehati dan diberitahu, bahkan untuk sesuatu yang sudah sangat saya ketahui dan saya pahami. Senior kita tak akan peduli apa gelar pendidikan yang kita sandang, berapa banyak nilai A yang sudah kita raih, ataupun seberapa pandai kita itu. Yang ingin mereka lihat adalah action and result (tindakan dan hasilnya). Dari sini saya belajar bahwa kecerdasan intelektual seseorang harus disertai dengan kecerdasan emosi dimana saat seseorang merasa ‘bisa’ tapi lingkungannya berkata sebaliknya yaitu ‘kamu belum mampu untuk itu’, maka saat itulah seseorang diuji bagaimana ia harus mengolah emosinya berdasarkan kemampuan berfikir yang dimilikinya.
Selain itu, saya harus membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan anak-anak SD yang pada awalnya menurut saya sangat aneh. Di antaranya, mereka suka sekali mengadu pada guru tentang apa yang mereka atau teman mereka alami, bahkan sampai pada hal yang tidak penting  sama sekali. Lebih anehnya, mereka tetap saja hobi mengadu padahal pak guru atau bu guru hanya menjawab dengan berkata ‘ya’ atau mengangguk saja!. Dari sini (pun) saya bisa belajar bahwa anak-anak seusia mereka tidak cukup hanya diajari tapi juga dibimbing. Mereka masih terlalu kecil untuk bisa melakukan dan mengerti apa yang mereka lihat dan mereka rasakan tanpa bantuan orang yang lebih dewasa, yaitu guru mereka sebagai ayah dan ibu ke-dua saat mereka berada di lingkungan sekolah.
Pernah pada suatu waktu saat mengajar di kelas satu saya dihadapkan pada posisi yang sulit. Di tengah-tengah pelajaran, salah seorang siswa menghampiri dan menarik lengan saya agar saya mendekatkan telinga saya di mulutnya. Ia berbicara pelan minta di antar dan ditemani ke toilet. Saya tidak mungkin melimpahkan tugas itu kepada guru lain karena saya merasa pada jam itu para siswa sedang berada dalam tanggung jawab saya. Dan kebetulan waktu itu, guru kelas satu sedang menyelesaikan urusannya di luar sekolah (suatu kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan guru kelas di SD saat kelas mereka diisi oleh guru mata pelajaran, mereka akan sangat memanfaatkan waktu itu untuk keperluan yang mungkin sempat tertunda). Di saat-saat seperti inilah, rencana pembelajaran yang sudah dibuat sempurna harus diubah sesuai kondisi di dalam kelas. Saya instruksikan siswa yang lain untuk mencontoh gambar yang ada di buku kemudian mewarnainya. Setelah mereka terkondisi, saya antarkan siswa saya tadi. Sesampai di toilet, saya bantu dia untuk melepas sepatu dan ikat pinggang. Saat itulah siswa kecil saya itu berkata dengan polosnya, “Miss, aku belum bisa ‘wawik’ (baca: cebok) sendiri”. Tertegun saya mendengar ucapannya itu. Bagaimana tidak, waktu itu saya belum punya anak dan saya sungguh tidak punya keberanian dan kemauan untuk melakukan itu. Saya hanya menjawabnya dengan senyuman, senyum yang kecut tentunya. Setelah dia masuk ke kamar mandi, saya hendak menutup pintunya, tapi tiba-tiba dia setengah berteriak menghentikan saya, “Nggak usah ditutup pintunya, aku takut di dalam sendirian! Miss Muna di situ aja”. Oh my God!!! Dengan setengah menangis dalam hati, saya berbisik, kenapa saya dihadapkan pada situasi sulit seperti ini. Tak akan mampu rasanya tangan ini melakukan hal yang mungkin adalah ‘biasa’ untuk para perawat (untung saya dulu mengurungkan niat saya untuk sekolah di keperawatan). Tiba-tiba saya ingat pesan bapak saya, bahwa dalam kondisi sesulit apapun kita harus bisa bersikap tenang agar kita bisa berfikir jernih dan tidak bertindak gegabah. Akhirnya saya bisa lebih menenangkan diri saya. Setelah siswa kecil saya itu selesai dan memanggil saya, saya berusaha membujuk dia untuk belajar menyiram sendiri WC sampai bersih dan ia harus mau belajar menggunakan tangan kirinya sendiri untuk membersihkan sampai benar-benar bersih sementara saya bantu menyiramkan airnya. Setelah itu, saya menyuruh dia mencuci tangannya dengan sabun. Akhirnya, semua bisa saya atasi!
Hal itu hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang harus saya hadapi saat berhadapan dengan murid-murid kecil saya. Tapi dari itu semua, dari setiap kejadian yang dihadapkan pada saya, ada pelajaran yang bisa saya ambil. Namun demikian, ada duka maka ada suka juga. Saya pernah merasa tersanjung sekali ketika ada salah seorang siswa kecil saya meronce bunga dan menghadiahkannya pada saya (hal yang satu ini tidak mungkin dilakukan oleh siswa-siswa saya yang SMP karena pasti akan terjadi missunderstanding di situ). Atau saat saya belum turun dari motor, sudah banyak siswa kecil saya yang mengantri untuk bersalaman dan mencium tangan saya. Saat banyak siswa yang memuji tulisan saya (yang kata mereka bagus) di papan tulis. Saat para siswa merasa antusias dan patuh ketika saya mengajar. Saat lebih dari separuh siswa mendapat nilai di atas rata-rata ketika ulangan. Saat hendak masuk kelas, ada juga beberapa siswa yang membujuk untuk membawakan tas saya, hal yang terakhir inilah saya selalu menolak dengan alasan tidak tega.
Untuk menjalankan profesi ini tak semudah orang lain menilai. Saya juga harus bisa membuat siswa selalu merasa senang dengan saya dan apa yang saya ajarkan, mampu menguasai kelas dan tetap tegas tanpa ada kesan culas. Setelah tiga tahun terakhir, saya sangat menikmati pekerjaan saya ini. Tak peduli lagi berapa rupiah yang bisa saya kantongi dari menjalani profesi ini. Karena profesi ini juga yang mengantarkan saya pada kesuksesan-kesuksesan selanjutnya. Dipercaya suatu lembaga ataupun personal untuk membagi ilmu bahasa Inggris saya untuk tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi tentunya.
Dari sekolah dasar-lah saya belajar banyak hal tentang ‘pertama kalinya’. Dari tempat itulah saya mulai bisa membaca tulisan kehidupan. Maka jika ada orang bertanya pada saya, “Guru SD???”. Saya akan menjawab, “YA! (dengan rasa bangga)”.

2 komentar:

  1. salam kenal bu Muna!
    kalo dibilang hari gini profesi guru SD itu nggak keren rasanya kok nggak tepat. justru sebaliknya profesiku guru (apapun) sekarang keren banget apalagi kalo dah ada embel-embel pe-en-es.
    Lima tahun lalu pun di saat sy cari istri sy sudah naksir ma gadis yg berprofesi sbg guru. Bagiku ia merupakan tipe calon istri idaman lantaran (ini subyektif lho!): 1)ia akan mjd ibu rmh tangga yg baik karena sdh terbiasa mendidik anak di sekolah, 2) lbh punya banyak waktu mengurus rumah tangga, 3) gajinya ikut menunjang ekonomi keluarga.
    Dan alhamdulilliah keinginan itu terwujud. Sy dianugrahi istri seorang guru dan ia mjd kebanggan seluruh keluarga.(dpramono)

    BalasHapus
  2. salam kenal jg..(pak Pramono??)!!
    itu saya bilang 'nggak banget deh!'nya kan sblm sy mjd guru. Di penutup artikel kan sy tegaskan klo sy bangga dg profesi sy :)
    sayangnya, sy blm merasakan nikmatnya jd pns, mohon doanya saja, moga secepatnya sy bs (plng tdk) ikut sertifikasi!! aamiin.. hehe
    salam bwt istrinya ya! makasih jg sdh mampir dn berkomentar di blog sy yg sgt ala kadarnya ini...

    BalasHapus