Sabtu, 29 Januari 2011

Hari gini upacara bendera?!

Saat itu saya sedang bersama teman-teman seprofesi saya dalam suatu acara rutin perkumpulan guru-guru bahasa Inggris se-kecamatan. Dalam pertemuan itu membahas bahwa akan ada tambahan materi dari Dinas Pendidikan untuk kelas enam yaitu materi yang bertema Upacara Bendera. Mungkin karena kesal harus mengajarkan materi baru di penghujung semester, di saat Program Semester telah dibuat dan waktu untuk Ulangan Kenaikan Kelas sudah dekat, beberapa teman mengeluhkan kebijakan itu.
Tiba-tiba pokok pembahasan menjadi si upacara bendera itu tadi. Bukankah saat ini upacara bendera dianggap tidak penting lagi? Bukankah banyak sekolah yang sudah menghapus jadwal upacara bendera di jadwal harian setiap hari Senin pagi? Apa sih pentingnya upacara bendera? Untuk menumbuhkan rasa nasionalisme? Efektifkah? Melatih kedisiplinan? Lihat saja kita yang dari jamannya TK sampai sebesar ini apa bisa disiplin karena upacara bendera? Kalaupun seorang siswa itu disiplin apakah karena upacara bendera? Orang-orang Amerika yang negaranya benar-benar super power itu saja tidak pernah melaksanakan upacara bendera.
Kira-kira seperti itulah beberapa pemikiran yang terlontar. Dan saya berpikir keras memutar otak, kira-kira jawaban apa yang bisa melumpuhkan semua pemikiran negatif tentang upacara bendera. Ternyata hampir tidak ada dalam otak saya waktu itu untuk memunculkan sebuah pembelaan untuk si upacara bendera.
Hingga di saat saya hendak masuk ruang kelas, saya melewati para siswa yang sedang berlatih upacara dan salah satu siswa sedang membacakan Doa. Ya, DOA!
Tiga huruf itu tiba-tiba menari-nari dalam benak saya. Seperti yang telah banyak kita tahu dan kita yakini, sungguh betapa hebatnya kekuatan doa itu. Hanya dengan berdoa, kita serasa bisa menaklukan kerasnya hidup dan menyelesaikan masalah. Banyak orang yang mengakui itu. Apalagi doa yang diserukan setiap Senin pagi itu diserukan dan diamini oleh milyaran lebih siswa dan guru se-Indonesia. Betapa tidak, misalnya untuk satu kecamatan tempat saya mengajar terdapat 20 Sekolah Dasar dengan satu sekolah yang tidak paralel terdapat sekitar 180 siswa dan sekitar 10 guru (jika kelas paralel berarti terdapat sekitar 360 siswa dan 20 guru). Jumlah itu jika dikalikan 20 hasilnya 3600 siswa dan 200 guru. Jika di kabupatennya saja terdapat sekitar 7 kecamatan, maka jumlah siswa SD se-kabupaten yang menyerukan dan mengamini doa setiap hari Senin pagi itu berjumlah sekitar 25200 siswa dan 1400 guru. Hitungan tersebut adalah hitungan minimal yaitu jika kelasnya belum paralel, jika kelasnya sudah paralel semua, maka jumlahnya menjadi dua kali lipat. Fantastis bukan? Itu baru hitungan untuk siswa dan guru Sekolah Dasar se-kabupaten, belum termasuk para siswa dan guru di tingkat SMP dan SMA, belum dalam hitungan para siswa dan guru seYogyakarta dan bahkan seIndonesia. Hebat!. Tanpa perlu kita mengumpulkan banyak orang untuk berdoa bersama ataupun bermujahadah secara besar-besaran. Doa Senin pagi ini adalah rutinitas yang baik sekali. Doa Senin pagi ini bisa mnejadi perantara untuk terkabulnya doa-doa kita.
Tapi sayangnya, masih banyak siswa dan guru yang meremehkan momen doa dalam upacara bendera. Namun, seperti prinsip saya, tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan. Mulailah dari diri kita sendiri untuk mengambil sisi positif dari hal apapun di sekitar kita. Jika kita sudah tidak berkesempatan lagi untuk berdoa bersama di Senin pagi itu, tanamkanlah pada anak-anak kita, bahwa berdoa adalah otaknya ibadah dan hanya dengan berdoa, kita bisa tetap menjalin komunikasi dengan Tuhan kita.

Coba resapi makna setiap kata dalam doa setiap Senin pagi ini, betapa dalam dan luas tujuan yang ingin dicapai dalam doa ini:

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang
Kami yang berkumpul di tempat ini,
Memanjatkan doa ke hadirat Allah Yang Maha Esa

Ya Allah
Tunjukkanlah kami ke jalan yang benar,
Tunjukkanlah kami jalan yang lapang

Ya Allah
Berilah kami tambahan pemahaman
Karuniakanlah kami ketabahan
Di dalam kami berlatih dan belajar

Ya Allah
Tuhan Yang Maha Esa
Jauhkanlah kami dari perilaku nista,
Hindarkanlah kami dari perbuatan tercela,
Semoga tercapailah segala cita-cita

Ya Allah
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Limpahkanlah nur cahayaMu
Kepada para pemimpin kami
Kepada para pendidik tunas bangsa
Kepada para orang tua kami
Untuk melanjutkan perjuangan di segala bidang
Amin
Perkenankanlah doa kami

Jadi, masih adakah yang akan mengatakan, “hari gini.....upacara bendera?!” hehe 

Sebuah Lagu yang Tak Pernah Tega untuk Saya Nyanyikan


Lebih tepatnya ini mungkin bukan lagu, tapi tembang dolanan, mengingat kita tidak pernah tahu siapa pencipta lagu ini, dipopulerkan oleh siapa, dan tak jelas juga bagaimana not baloknya.
Sekitar 16 tahun yang lalu saya pertama kali mendengar lagu ini didendangkan oleh Ibu saya tersayang untuk menghibur adik saya yang paling ragil. Dimana waktu itu umurnya sekitar 2 tahun (seusia anak saya sekarang) dan kakaknya (adik saya yang paling besar) berusia 5 tahun.
Posisi adik kecil saya dalam pangkuan Ibu, saya menyimak dengan sungguh-sungguh lagu yang pertama kali saya dengar yang Ibu nyanyikan itu dan *glek, terkejut benar saya dengan lirik-lirik lagu tersebut. Mengigat Ibu selalu mengajari saya lagu ataupun tembang yang bertemakan nasehat, harapan, ataupun hiburan, maka saya tak menyangka bahwa ternyata ada juga lagu yang setega itu.
Mungkin sebagian dari teman-teman pernah mendengar atau bahkan pernah mendendangkan lagu ini, berikut potongan liriknya (sesuai ingatan saya, karena saya hampir tidak pernah menyanyikannya sejak pertama kali mendengarnya)

aku duwe adik cilik
tak tenguk'ke dingklik . .
tibo njempalik
wudele totol pitik!

(aku punya adik kecil
saya dudukkan dia di kursi kecil . .
jatuh terbalik
pusarnya dipatuk ayam!)

Sangat sepele memang, tapi masih benar-benar saya ingat perasaan polos saya sebagai seorang kakak yang sangat menyayangi adik-adiknya ketika mendengar lagu itu. Rasanya sungguh tak rela kalau adik-adik saya mengalami hal semacam itu. Mungkin ada unsurfun juga dalam lagu tersebut, tapi tetap saja menurut saya itu terlalu TEGA! 
Oleh karena itu, dari sekian banyaknya lagu ataupun tembang yang Ibu 'wariskan' kepada saya, hanya lagu/tembang tersebut di atas yang tidak pernah saya dendangakan untuk si kecil tersayang.

Sudah pernah hamil dan melahirkan?


Hamil dan Melahirkan bukanlah suatu proses yang mudah untuk dijalani, tapi tidak terlalu sulit juga, tidak sesulit ketika saya harus menyelesaikan soal-soal Matematika (haha :P). Sekitar 9 bulan lebih 10 hari seorang calon ibu membawa janin yang ada di dalam kandungannya kemanapun ia pergi.
Dalam trimester pertama (3 bulan pertama) si ibu pada umumnya mengalami yang namanya mual di pagi hari atau morning sickness (padahal mualnya tidak hanya di pagi hari). Tidak mudah untuk mengutarakan rasa sakit (walaupun bukan penyakit) yang dialami kebanyakan ibu hamil tersebut. Mual yang aneh menurut saya. Saya katakan aneh karena terkadang mual tersebut  datang secara tiba-tiba dan tanpa diduga. Saat kondisi badan sehat, datang aroma yang tidak diinginkan (kalau saya dulu aroma telur yang sedang digoreng dan aroma wangi dari parfum merk apapun), langsung deh mual dan muntah di tempat. Ada juga teman saya yang agak ekstrim, dia akan mual dan muntah kalau berdekatan dengan suaminya (doh...parah!).
Untuk 6 bln berikutnya akan lebih mudah karena tidak ada lagi mual dan muntah (saat inilah saya mulai melanjutkan skripsi saya yang sempat dipending selama masa mual dan muntah itu tadi :D). Tapi masalahnya berganti. Saat perut mulai membesar, pakaian di lemari ga ada yang muat lagi!. Kemana-mana rasanya membawa drum besar berat dan membuat si calon ibu tak bebas bergerak. Belum lagi saat bulan ke-8 atau ke-9 yang kadang ada yang merasa sesak nafas, perut ga muat nampung terlalu banyak makanan (padahal dibulan-bulan ini nafsu makan mulai menggila), sampai pada tidur tak pernah nyenyak (lagi, di bulan-bulan ini saya menjalani ujian skripsi dan wisuda! ckckckckck).

Saatnya melahirkan.................
Tak pernah terbayang sebelumnya, bagaimana rasanya yang namanya melahirkan itu. Saya cari informasi kemana-mana (ke orang-orang yang pernah melahirkan maksudnya). Jawaban mereka semua hampir sama : "santai aja, ga sakit kok!". Berbekalkan jawaban dari mereka, saya tekadkan dan mantapkan hati saya untuk bisa melahirkan dengan normal. Ternyata oh ternyata, mereka 'ngakalin saya'! (ternyata baru saya ketahui kemudian kalau calon ibu yang mau melahirkan itu tidak boleh ditakut-takuti masalah proses melahirkan. Loh???) Memang benar saat melahirkan itu tidak sakit sama sekali. Saya ulangi, tidak sakit sama sekali. Akan terasa sakit itu waktu sebelum lahir, yaitu proses pembukaan dimana si bayi sedang 'mencari jalan untuk keluar'. Sakitnya seperti apa? tidak bisa diungkapkan dg kata-kata. Tapi bukankah semua wanita normal akan merasakannya? kenapa harus takut?. Tidak ada yang perlu ditakuti selama kita masih percaya pada Tuhan. Dalam proses inilah, luruskan niat hanya mencari ridla Alloh karena proses inilah yang banyak dibilang oleh orang Jawa sebagai proses 'toh nyowo' (mempertaruhkan nyawa).
Rasa sakit itu akan sirna seketika saat si ibu melihat betapa cantik/tampan anak yang selama ini berada di dalam perutnya. Betapa takjub saya waktu itu, serasa berada di alam bawah sadar. Betapa besarnya Kuasa Alloh pada makhlukNya :)

Lalu apa hubungannya itu semua dengan proses pendewasaan?
Menurut saya ini adalah proses alamiah (bahasane!) dimana seorang perempuan yang sudah mengalami proses hamil dan melahirkan, pemikiran dan caranya untuk mengolah perasaan akan lebih matang daripada sebelum ia merasakan yang namanya hamil dan melahirkan. Walaupun kedua proses tersebut belum seberapa dibandingkan dengan proses pengasuhan anak yang telah dilahirkan, terutama di tahun pertama (mungkin di tulisan topik selanjutnya akan saya bahas ^__^). Proses mengasuh dan mendidik anak jika ditimbang dengan proses hamil dan melahirkan mungkin hasilnya akan lebih berat karena proses yang satu ini, orang tua terutama ibu layaknya sedang berinvestasi, harus mempertimbangkan 'untung dan rugi'. Saya selalu tanamkan dalam mindset saya bahwa anak adalah masa depan dan masa depan harus dirancang, disertai doa tentunya.
Berikut adalah beberapa main point yang saya bisa uraikan dari proses pendewasaan yang saya maksud (tentu saja yang tumbuh dalam diri saya)
1. tentu saja kehidupan religi kita akan terasa lebih baik (baca: lebih dekat dg Alloh)
2. lebih menyayangi dan menghargai orang tua, terutama ibu, ibu, dan ibu (hiks T.T)
3. lebih menghargai waktu (kok bisa? silahkan dipikirkan sendiri! :P)
4. lebih menghormati suami (karena dialah partner terhebat dalam megasuh dan mendidik si kecil)
5. lebih mampu mengendalikan emosi
6. akan merasa punya lebih banyak kebahagiaan
7. pemikiran menjadi lebih terarah untuk apa yang ingin dicapai dan bagaimana hidup kita harus bisa menghidupi hidup kita sendiri.
(karena saya suka angka 7, jadi 7 point saja ya?! hehe..)
Uraian di atas semua tidak berlaku untuk orang-orang yang tidak mau membuka pikiran dan kaku dengan proses kehidupan. Saya hanya ingin menekankan dan sedikit membuktikan (at least pada diri saya sendiri) bahwa dewasa tidak bisa dilihat dari berapa usia sesorang, tapi berdasarkan pengalaman dan keterbukaan pemikiran orang itu sendiri.
Dari 7 point tersebut, mungkin ada yang lebih banyak merasakan perubahan setelah menjalani proses hamil dan melahirkan (berikut membesarkan) atau ada banyak cara lain untuk mempercepat proses pendewasaan.
Pendek kata, Hamil dan Melahirkanlah jika kamu ingin mempercepat proses pendewasaan dalam diri kalian! (nikah dulu dong tentunya! hehe)

Minggu, 23 Januari 2011

Guru SD??? Nggak banget deh...


Kira-kira kata-kata seperti itulah yang pertama kali muncul dalam benak saya ketika mendapat tawaran untuk melamar pekerjaan sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar negeri di wilayah Bantul. Hanya karena ada unsur paksaan dari orang tua, akhirnya saya lakukan juga sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hati itu, yaitu menjadi seorang guru. Ya, menjadi seorang guru memang bukan cita-cita saya, walaupun saya kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, tapi karena jurusan yang saya ambil adalah bahasa Inggris, jadi menurut saya menjadi seorang guru bukanlah harga mati. Tidak harus menjadi guru, tapi banyak alternatif lainnya, yaitu menjadi translator (penerjemah), tour guide (pemandu wisata), bekerja di perusahaan ekspor-impor, atau kalau memungkinkan bisa juga menjadi gurunya mahasiswa (baca: dosen). Untuk alternatif yang terakhir inilah yang I really wanna be...karena idealisme dan cita-cita saya masih terlalu tinggi waktu itu, terlalu tinggi untuk ukuran kemampuan saya yang memang hanya pas-pasan :(. Tapi, beruntung saya punya cita-cita tinggi itu dan Alloh menempatkan saya di tingkat sekolah dasar, mungkin kalau cita-cita saya sebagai guru SMA, Alloh akan menempatkan saya di tingkat taman kanak-kanak, dan kalau saya punya cita-cita sebagai guru SMP, mungkin Alloh akan menempatkan saya di tingkat pendidikan anak usia dini! (pemikiran yang bersifat ‘menghibur diri’ hehe..). Tapi berawal dari sebagai guru SD inilah saya rasakan dunia kerja yang sesungguhnya dan saya temukan banyak pelajaran hidup di dalamnya.
Pertama kali terjun ke sekolah yang muridnya semua adalah anak-anak itu, saya dikejutkan dengan banyak hal yang tidak pernah saya pelajari di bangku kuliah maupun praktek mengajar saya yang notabene adalah di sekolah menengah kejuruan. Berawal dari lingkungan kantor. Dalam lingkup guru-guru yang mengajar di SD itu, saya adalah yang paling muda dan di antara teman yang lain, yang paling muda yaitu berusia seusia bapak saya, maka sering sekali saya berada dalam posisi sulit. Tidak bisa selalu masuk ke dalam topik pembicaraan yang mereka bicarakan karena memang selisih usia yang terlalu jauh. Jangan dibayangkan kalau ruang kantor guru tempat saya bekerja itu seperti ruang guru di SMP ataupun ruang guru SD yang kelasnya sudah paralel. Ruang guru yang memaksa saya untuk tidak hedonis dan harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan guru-guru yang lain. Selalu mengalahkan ego sebagai yang lebih muda, memposisikan diri untuk selalu siap dinasehati dan diberitahu, bahkan untuk sesuatu yang sudah sangat saya ketahui dan saya pahami. Senior kita tak akan peduli apa gelar pendidikan yang kita sandang, berapa banyak nilai A yang sudah kita raih, ataupun seberapa pandai kita itu. Yang ingin mereka lihat adalah action and result (tindakan dan hasilnya). Dari sini saya belajar bahwa kecerdasan intelektual seseorang harus disertai dengan kecerdasan emosi dimana saat seseorang merasa ‘bisa’ tapi lingkungannya berkata sebaliknya yaitu ‘kamu belum mampu untuk itu’, maka saat itulah seseorang diuji bagaimana ia harus mengolah emosinya berdasarkan kemampuan berfikir yang dimilikinya.
Selain itu, saya harus membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan anak-anak SD yang pada awalnya menurut saya sangat aneh. Di antaranya, mereka suka sekali mengadu pada guru tentang apa yang mereka atau teman mereka alami, bahkan sampai pada hal yang tidak penting  sama sekali. Lebih anehnya, mereka tetap saja hobi mengadu padahal pak guru atau bu guru hanya menjawab dengan berkata ‘ya’ atau mengangguk saja!. Dari sini (pun) saya bisa belajar bahwa anak-anak seusia mereka tidak cukup hanya diajari tapi juga dibimbing. Mereka masih terlalu kecil untuk bisa melakukan dan mengerti apa yang mereka lihat dan mereka rasakan tanpa bantuan orang yang lebih dewasa, yaitu guru mereka sebagai ayah dan ibu ke-dua saat mereka berada di lingkungan sekolah.
Pernah pada suatu waktu saat mengajar di kelas satu saya dihadapkan pada posisi yang sulit. Di tengah-tengah pelajaran, salah seorang siswa menghampiri dan menarik lengan saya agar saya mendekatkan telinga saya di mulutnya. Ia berbicara pelan minta di antar dan ditemani ke toilet. Saya tidak mungkin melimpahkan tugas itu kepada guru lain karena saya merasa pada jam itu para siswa sedang berada dalam tanggung jawab saya. Dan kebetulan waktu itu, guru kelas satu sedang menyelesaikan urusannya di luar sekolah (suatu kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan guru kelas di SD saat kelas mereka diisi oleh guru mata pelajaran, mereka akan sangat memanfaatkan waktu itu untuk keperluan yang mungkin sempat tertunda). Di saat-saat seperti inilah, rencana pembelajaran yang sudah dibuat sempurna harus diubah sesuai kondisi di dalam kelas. Saya instruksikan siswa yang lain untuk mencontoh gambar yang ada di buku kemudian mewarnainya. Setelah mereka terkondisi, saya antarkan siswa saya tadi. Sesampai di toilet, saya bantu dia untuk melepas sepatu dan ikat pinggang. Saat itulah siswa kecil saya itu berkata dengan polosnya, “Miss, aku belum bisa ‘wawik’ (baca: cebok) sendiri”. Tertegun saya mendengar ucapannya itu. Bagaimana tidak, waktu itu saya belum punya anak dan saya sungguh tidak punya keberanian dan kemauan untuk melakukan itu. Saya hanya menjawabnya dengan senyuman, senyum yang kecut tentunya. Setelah dia masuk ke kamar mandi, saya hendak menutup pintunya, tapi tiba-tiba dia setengah berteriak menghentikan saya, “Nggak usah ditutup pintunya, aku takut di dalam sendirian! Miss Muna di situ aja”. Oh my God!!! Dengan setengah menangis dalam hati, saya berbisik, kenapa saya dihadapkan pada situasi sulit seperti ini. Tak akan mampu rasanya tangan ini melakukan hal yang mungkin adalah ‘biasa’ untuk para perawat (untung saya dulu mengurungkan niat saya untuk sekolah di keperawatan). Tiba-tiba saya ingat pesan bapak saya, bahwa dalam kondisi sesulit apapun kita harus bisa bersikap tenang agar kita bisa berfikir jernih dan tidak bertindak gegabah. Akhirnya saya bisa lebih menenangkan diri saya. Setelah siswa kecil saya itu selesai dan memanggil saya, saya berusaha membujuk dia untuk belajar menyiram sendiri WC sampai bersih dan ia harus mau belajar menggunakan tangan kirinya sendiri untuk membersihkan sampai benar-benar bersih sementara saya bantu menyiramkan airnya. Setelah itu, saya menyuruh dia mencuci tangannya dengan sabun. Akhirnya, semua bisa saya atasi!
Hal itu hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang harus saya hadapi saat berhadapan dengan murid-murid kecil saya. Tapi dari itu semua, dari setiap kejadian yang dihadapkan pada saya, ada pelajaran yang bisa saya ambil. Namun demikian, ada duka maka ada suka juga. Saya pernah merasa tersanjung sekali ketika ada salah seorang siswa kecil saya meronce bunga dan menghadiahkannya pada saya (hal yang satu ini tidak mungkin dilakukan oleh siswa-siswa saya yang SMP karena pasti akan terjadi missunderstanding di situ). Atau saat saya belum turun dari motor, sudah banyak siswa kecil saya yang mengantri untuk bersalaman dan mencium tangan saya. Saat banyak siswa yang memuji tulisan saya (yang kata mereka bagus) di papan tulis. Saat para siswa merasa antusias dan patuh ketika saya mengajar. Saat lebih dari separuh siswa mendapat nilai di atas rata-rata ketika ulangan. Saat hendak masuk kelas, ada juga beberapa siswa yang membujuk untuk membawakan tas saya, hal yang terakhir inilah saya selalu menolak dengan alasan tidak tega.
Untuk menjalankan profesi ini tak semudah orang lain menilai. Saya juga harus bisa membuat siswa selalu merasa senang dengan saya dan apa yang saya ajarkan, mampu menguasai kelas dan tetap tegas tanpa ada kesan culas. Setelah tiga tahun terakhir, saya sangat menikmati pekerjaan saya ini. Tak peduli lagi berapa rupiah yang bisa saya kantongi dari menjalani profesi ini. Karena profesi ini juga yang mengantarkan saya pada kesuksesan-kesuksesan selanjutnya. Dipercaya suatu lembaga ataupun personal untuk membagi ilmu bahasa Inggris saya untuk tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi tentunya.
Dari sekolah dasar-lah saya belajar banyak hal tentang ‘pertama kalinya’. Dari tempat itulah saya mulai bisa membaca tulisan kehidupan. Maka jika ada orang bertanya pada saya, “Guru SD???”. Saya akan menjawab, “YA! (dengan rasa bangga)”.